SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA

Monday, December 28, 2015

Kisah Inspirasi - Andrew Carnegie, Imigran yang Sukses Meraih "the American Dream"


Andrew Carnegie dilahirkan di Dunfermline, Skotlandia, pada tanggal 25 November 1835. Ia lahir dari pasangan William dan Margaret Carnegie, yang bedasal dari sebuah keluarga miskin yang tinggal di rumah seadanya.

Ayah Andrew, William Carnegie, menamainya sama dengan nama sang kakek, yaitu Andrew Carnegie. Ternyata, bukan hanya nama saja yang sama, namun Andrew juga mewarisi sikap sang kakek yangoptimis dan penuh semangat.

Di Skotlandia, karena keadaan tidak menjadi lebih baik hari demi hari, William Carnegie dan keluarga pun akhirnya melakukan imigrasi ke Amerika Serikat pada tahun 1848. Mereka ingin mengejar “the American Dream”, seperti yang banyak orang lakukan.

Namun, keinginan mereka untuk pindah ke Amerika bukannya tanpa kesulitan; karena mereka tidak memiliki cukup uang untuk pergi ke sana. Akhirnya, keluarga Carnegie memutuskan untuk meminjam uang agar bisa mendapatkan hidup yang lebih baik.

Sesampainya di Amerika, keluarga Carnegie mencari pekerjaan agar bisa terus hidup. Di usia 13 tahun, Andrew bekerja di sebuah pabrik kapas, dan dibayar $1.25 per minggunya. Ayahnya juga bekerja di pabrik kapas, tapi kemudian berganti pekerjaan dengan merajut linen.

Pada tahun 1853, Andrew bekerja untuk Thomas A. Scott di Pennsylvania Railroad Company sebagai sekretaris/operator telegraf. Pertemuannya dengan Scott ternyata membawa kemajuan, setelah pada tahun 1855 ia dibantu untuk menginvestasikan $500 di sebuah firma yang sukses bernama Adams Express.

Dari investasinya itu, hasilnya ia gunakan kembali untuk membeli sebagian dari Pullman Company, dan kemudian ia meneruskannya dengan investasi di bidang yang berkaitan dengan rel kereta, seperti besi dan baja. Dari sanalah ia kemudian mendapatkan modal yang cukup untuk sukses melanjutkan usahanya.

Andrew Carnegie memang selalu mendorong pekerja pabriknya untuk bekerja keras siang dan malam, namun ia tidak lupa untuk membantu meringankan beban masyarakat. Ketika ia meninggal di tahun 1919, ia telah menyumbangkan uang dengan total US $350,695,653 untuk kepentingan umum.

Ini semua dilakukannya karena ia percaya bahwa orang-orang kaya haruslah ikut serta dalam mensejahterakan masyarakat, dan ia percaya bahwa orang kaya tak pantas meninggal dalam keadaan kaya, apa lagi dengan turut serta mengubur harta bendanya.

Lantas, sikap apakah yang bisa membuatnya menjadi seorang entrepreneur sukses dan berpengaruh di seluruh dunia? 

Di sebuah situs milik Evan Carmichael, seorang entrepreneur dan pembicara internasional, ada 5 pelajaran tak ternilai yang bisa kita ambil dari Andrew Carnegie. Lima pelajaran tersebut telah dijelaskan dengan baik oleh Evan, namun di sini telah saya akan menyampaikan ulang, dengan penambahan dan pengurangan.

Pelajaran #1: Melebihi Harapan

Andrew Carnegie tidak suka melaksanakan pekerjaan sesuai yang diminta. Ia mengatakan bahwa ia selalu berusaha untuk melebihi harapan dirinya sendiri atau orang lain.

Lebih lanjut, Carnegie juga mengatakan …

“Jangan berpikir bahwa seseorang telah benar-benar melakukan tugasnya ketika ia sudah melaksanakan pekerjaan yang diminta,”
Prinsip seperti ini diterapkan oleh Andrew Carnegie, baik ketika ia masih bekerja pada orang lain maupun ketika ia sudah memimpin perusahaannya sendiri. Dengan mempraktikkan prinsip seperti ini, Andrew Carnegie percaya bahwa orang sudah membuka satu kunci kesuksesan.

Ketika masih bekerja di pabrik saat usianya masih belasan tahun, Carnegie mengatakan bahwa..

“Saya sudah bisa mendapatkan jutaan dolar, tapi rasa bahagianya tak bisa mengalahkan ketika saya mendapatkan bayaran mingguan pertama saya.”


Pelajaran #2: Investasi pada Diri Sendiri


Andrew Carnegie meyakini bahwa kekayaan materi atau fisik berasal dari pikiran. Oleh karena itu, ia selalu menjaga diri untuk terus bersikap positif, apapun keadaan di sekitarnya.

Salah satu kutipannya yang terkenal berbunyi…

“Ada sedikit kesuksesan di mana hanya ada sedikit tawa,”

Carnegie tahu bahwa sikap senang dan positif bisa membantunya meraih keberhasilan. Pikiran yang senang dan positif bisa berdampak pada kondisi fisik, sehingga berinvestasi pada diri sendiri, tepatnya pada pikiran, akan dapat membantu siapapun untuk bekerja dengan lebih baik.

Itulah sebabnya mengapa Carnegie tidak suka minum alkohol, karena alkohol dapat merusak pikiran dan konsentrasinya. Bahkan, bukan hanya anti alkohol, Carnegie juga adalah seseorang yang anti rokok. Ia tidak mempersoalkan masalah moral, namun ia percaya bahwa rapuhnya kondisi fisik akibat alkohol dan rokok dapat bedampak buruk pada kualitas kerjanya.

Jadi, Andrew Carnegie selalu menginvestasikan pada dirinya sendiri, yaitu pada kesehatannya, baik fisik maupun mental.

Selain itu, Andrew Carnegie juga suka membaca buku sejak ia masih muda. Saat ia bekerja, ia menyempatkan diri untuk membaca buku yang diperolehnya secara gratis dari perpustakaan Colonel Anderson.

“Kerja keras di siang hari dan bahkan pelayanan yang panjang di malam hari selalu diterangi dengan buku yang saya bawa dan saya baca di sela-sela tugas.”

Pelajaran #3: Fokus

Fokus sangatlah penting untuk diterapkan,  “Fokus Kunci Anda Menuju Sukses”.

Prinsip ini jugalah yang membuat Andrew Carnegie berhasil. Apa yang membuat Andrew Carnegie sukses adalah karena ia senantiasa fokus pada satu perusahaannya saja. Kalau menurut Robert Kiyosaki, pengarang Rich Dad Poor DadFocus berarti Follow One Course UntilSuccessful. Inilah tepatnya apa yang dilakukan oleh Andrew Carnegie.

“Orang yang sudah sukses adalah orang yang telah memilih satu jalan, dan terus fokus pada jalan itu”

Carnegie mengatakan bahwa ia tidak menyetujui ungkapan “Don’t put all your eggs in one basket.” (jangan menaruh semua telur dalam satu keranjang). Ia mengatakan bahwa.

“Taruhlah telur dalam satu keranjang, dan awasi keranjang itu. Lihatlah di sekeliling Anda dan perhatikanlah bahwa orang yang melakukan hal tersebut jarang menemui kegagalan. Mengawasi dan membawa satu keranjang itu mudah. Mencoba membawa terlalu banyak keranjanglah yang memecahkan kebanyakan telur di negara ini. Orang yang membawa tiga keranjang harus meletakannya satu di atas kepala, di mana ia bisa lebih mudah terjatuh.”

Andrew Carnegie juga mengatakan bahwa kebanyakan pengusaha yang ia ketahui berinvestasi di perusahaan lain yang jauh, padahal tambang emas yang sesungguhnya berada di perusahaan mereka sendiri.

Pelajaran #4: Buat Sasaran yang Tinggi


Andrew Carnegie adalah pelopor perusahaan dengan omzet milyaran dollar AS. Pada saat ia meninggal, ia adalah orang terkaya setelah John D. Rockefeller.

Ia bisa mencapai itu semua karena ia selalu membuat sasaran tinggi. Ia adalah orang yang tidak takut untuk bermimpi besar.

Mengenai sasaran, Carnegie mengingatkan…

“Jangan buat kekayaan sebagai sasaran pertama, tapi buatlah kemanfaatan sebagai sasaran pertama.”

Carnegie tahu bahwa jika ia mengutamakan kemanfaatan, maka kekayaan akan mengikuti dengan sendirinya. Ia menetapkan sasaran untuk bisa memberi manfaat pada masyarakat dengan bisnisnya, baru kemudian kekayaan datang padanya.

Ketika masih bekerja sebagai buruh pabrik pun Carnegie selalu memiliki harapan dan sasaran yang tinggi. Ia mengatakan…

“Harapan saya saat itu tinggi, dan setiap harinya saya selalu menunggu datangnya perubahan”
Dalam autobiografinya, Andrew Carnegie mengungkapkan bahwa pada tahun 1850 lah ia mendapatkan “awal pertama untuk memulai hidup”. Sebelumnya ia hanya bekerja di tempat yang gelap dengan upah dua dolar seminggu, di mana tempatnya penuh dengan kotoran batu bara. Namun pada tahun 1850, ia merasa bahwa ia “terangkat ke surga”, karena ia sudah naik pangkat. Saat itu, ia tidak lagi bekerja di tempat yang kotor, namun ia mulai berurusan dengan surat kabar, pena, pensil, dan juga sinar matahari.

Perubahan demi perubahan seperti itu terus ia alami, dan ia berhasil melaluinya dengan baik karena ia selalu percaya bahwa..

“Saya merasa bahwa kaki saya berada di atas anak tangga, dan saya harus terus menaikinya”

Selain itu, perkataan Carnegie yang berbunyi:

“Tujuan besar tiap anak muda seharusnya adalah melakukan sesuatu melebihi kewajibannya – sesuatu yang menarik perhatian orang-orang yang berada di atasnya.”
Menunjukkan bahwa Ia memiliki sasaran yang tinggi, dan ini dilakukannya dengan bergaul bersama orang-orang yang kedudukannya lebih tinggi daripada dirinya.

Memiliki sasaran yang tinggi sama halnya dengan berpikir besar. Namun, jangan pula berpikir yang tidak realistis. Semuanya perlu disertai dengan berpikir realistis. Tidak semuanya akan menjadi apa yang seperti kita harapkan. Jadi, berpikir besar, berpikir positif, dan juga jangan lupa untuk berpikir realistis.

Mengenai berpikir besar, Anda bisa merenungkan kembali kata Benjamin Disraeli: “Hidup terlalu singkat jika hanya digunakan berpikir kecil dan berbuat yang kecil-kecil.”; dan baca juga buku dari David J. Schwartz yang berjudul The Magic of Thinking Big.

Pelajaran #5: Berikan Kembali 


“Saya tak bisa membayangkan, apa yang bisa saya lakukan dengan uang sebanyak ini."


Pelajaran inilah yang mungkin paling banyak didapat orang dari Andrew Carnegie.

Di tahun 1889, Carnegie membuat sebuah artikel berjudul “Gospel of Wealth”, di mana ia menyatakan bahwa semua orang kaya wajib menggunakan kekayaan mereka untuk kesejahteraan masyarakat.

“Tak ada orang yang bisa memperkaya diri tanpa memperkaya orang lain,”

“Orang yang mati dalam keadaan kaya adalah aib.”

Antara tahun 1901-1915, Andrew Carnegie membagi-bagikan kekayaannya yang ia dapat dari hasil kerja kerasnya. Selain membuat perpustakaan umum di Amerika, ia juga membuat perpustakaan di negara lain seperti U.K., Kanada, Australia, New Zealand, dan Fiji. Tentu saja ia juga tidak lupa dengan negara Asalnya, Skotlandia, dengan memberi sumbangan dana pada anak-anak muda yang kesulitan biaya masuk universitas.

Sumbangan Carnegie itu terus saja mengalir, sampai akhir hayatnya.

Salah satu lembaga pendidikan gagasannya, Carnegie Institute of Technology, yang dahulunya ia dirikan dengan sumbangan sebesar $2 milyar dolar AS, kini telah menjadi bagian dari Carnegie Mellon University, yang juga merupakan tempat mengajar terakhir Randy Pausch, seorang professor Carnegie Mellon yang kemudian kisah inspiratifnya dibukukan dalam The Last Lecture.

Apa yang dilakukan Carnegie ini bukanlah tanpa alasan. Ia menyadari bahwa ia harus berbagi dengan sesama, dan ini juga sekaligus sebagai perwujudan rasa terima kasihnya pada masyarakat, karena tanpa masyarakat, ia tidak akan bisa sukses.

Meski apa yang dilakukan oleh Andrew Carnegie adalah ungkapan rasa terimakasih, memberi sebenarnya tidak perlu menunggu. Ada banyak orang yang mengatakan bahwa “Kalau saya sudah kaya, maka saya akan membangun masjid”, atau “Kalau saya sudah kaya, saya pasti akan memelihara anak yatim”. Padahal, memberi bisa dimulai dari yang terkecil, dilakukan sedikit demi sedikit, dan akhirnya terus bertambah besar seiring berjalannya waktu.

Ini bisa terjadi, karena Allah pasti memberi reward atas apa yang telah kita berikan. Jika tiap memberi kita mendapat reward, dan reward itu kita berikan lagi, mendapat reward lagi, lalu kita berikan lagi, dan seterusnya, maka hal yang sedikit yang telah kita berikan lama kelamaan bisa menjadi besar.

Carnegie pun begitu. Ketika belum menjadi orang kaya, ia memberikan layanan terbaik ketika ia masih menjadi pegawai. Karena dedikasi dan pemberiannya pada perusahaan, maka ia pun mendapat kenaikan upah, dan seterusnya sehingga ia bisa mendapat kesempatan bekerja sama dengan Thomas Scott, sampai akhirnya bisa memberikan hampir seluruh kekayaannya sebelum ia meninggal.

Sumbangan Andrew Carnegie yang begitu besar ini akhirnya membuat masyarakat Skotlandia mengabadikan sosoknya kedalam sebuah patung di tempat kelahirannya. Tidak hanya itu, di Amerika Serikat sendiri ada banyak hal yang mengandung nama Carnegie, mulai dari nama balai (Carnegie Hall di AS) sampai nama kaktus (Carnegiea). Wow.

Continue Reading...

Kisah Inspirasi - Farrah Gray, Menjadi Milyarder di Usia 14 Tahun, dan Mendapat Gelar Doktor di Usia 21

Farrah GrayFarrah Gray adalah seorang anak yang berasal dari kalangan minoritas di Amerika, dan sekarang pun ia masih menjadi bagian dari kalangan minoritas. Bedanya, kalau dahulu Gray adalah seorang keturunan Afrika-Amerika miskin, yang merupakan minoritas di Amerika, maka sekarang ia telah menjelma menjadimilyarder muda, yang juga merupakan minoritas di dunia ini, karena ia telah menjadi bagian dari 1% penduduk dunia yang menguasai peredaran uang.

Perjalanan Gray menuju kesuksesan bisa dibilang begitu “instant”. Tapi, mungkin lebih tepat lagi kalau disebut “ngebut”, karena ia benar-benar mencapai impiannya dengan usahanya sendiri, dan tentunya dukungan dari keluarga dan rekan-rekannya. Gray ialah seorang anak muda yang begitu menginspirasi banyak orang.

Dahulu, pria kelahiran tahun 1984 ini tinggal bersama keluarganya di sebuah apartemen kelas bawah, yang toiletnya sering macet dan banyak dihuni kecoak. Rasa sayangnya terhadap keluarga membuatnya ingin memberi yang terbaik bagi mereka, seperti apa yang sering ia lihat di layar televisi.

Pikiran Farrah Gray yang sudah begitu berpandangan ke depan membuatnya berkeputusan untuk mencari uang dengan cara berjualan ketika berusia 6 tahun. Apa yang ia jual waktu itu pun cukup sederhana, yaitu batu yang ia lukis sendiri sebagai ganjalan pintu. Ia berjualan keliling dari rumah ke rumah, dan bahkan membuat kartu namanya sendiri. Di dalam kartu nama tersebut, ia menyebut dirinya sebagai “CEO Abad 21”.

Suatu saat, ia memberi kartu namanya pada seseorang yang bernama Roy Tauer. Tentu saja ia terkesan dengan kartu nama bertuliskan “CEO Abad 21” yang dimiliki oleh seorang anak yang berusia sekitar 8 tahunan waktu itu. Tauer kemudian melihat adanya ambisi entrepreneurship dalam diri Gray, sehingga ia mengajaknya mendirikan sebuah klub bisnis yang diberi nama U.N.E.E.C ( dibaca Unique, singkatan dari Urban Neighborhood Economic Enterprise Club). Klub itu sendiri adalah sebuah organisasi yang mendorong anak-anak muda menjadi pengusaha.

Perjalanan bisnis Farrah Gray terus saja mengalir, dan bahkan Gray berhasil memiliki kantor di Wall Street, sehingga ia menjadi orang termuda di sana!

Di usianya yang ke-11, Farrah Gray kemudian mendapat wawancaranya yang pertama di KVBC Channel 3. Tiga tahun kemudian, di usianya yang ke-14, Gray secara resmi berhasil menjadi seorang milyarder muda dari penjualan yang menembus $1.5 juta dolar dari perusahaan Farr-Out Food miliknya. Kerajaan bisnisnya bertambah lagi ketika ia mengakuisisi majalah Innercity di usia 19 tahun.

Berkat kiprah Farrah Gray dalam bidang bisnis dan juga kepemimpinan & integritasnya, ia mendapat gelar Doktor kehormatan dari Allen University. Buku-buku yang ditulisnya pun laris manis, dan buku yang melambungkan namanya yang berjudul Reallionaire telah dipuji berbagai kalangan, termasuk mantan presiden A.S. Bill Clinton serta pengarang Chicken Soup For The Soul, Jack Canfield dan Mark V. Hansen.

Dengan berbagai prestasinya yang luar biasa dan usianya yang masih muda itu, Gray tentunya masih memiliki banyak cita-cita. Gray mengatakan bahwa tujuan hidupnya adalah untuk terus tumbuh, berkembang, dan memberi sumbangan atau kontribusi pada masyarakat. Jiwa sosialnya ini telah ia buktikan dengan berdirinya Farrah Gray Foundation, sebuah yayasan yang fokus pada pendidikan entrepreneurship bagi anak muda, di mana ia menyumbangkan honornya sebagai seorang pembicara.

Farrah Gray adalah seorang pemuda yang dinamis dan optimis, yang senantiasa percaya akan kata-kata neneknya yang berbunyi:

“'If better is possible, than good is just not enough.” – Jika kita bisa melakukan yang lebih baik, maka bagus saja belum cukup.
Continue Reading...

Kisah Inspirasi - Warren Buffet, Tak Perlukah Sekolah Jika Ingin Kaya?


Kepopuleran orang-orang sukses secara finansial yang tidak pernah menyelesaikan sekolah telah memberi inspirasi dan motivasi bagi setiap orang yang ingin mencapai tujuan yang sama. Orang-orang sukses tersebut adalah bukti bahwa kaya secara finansial tak perlu diraih dengan tingkat pendidikan tinggi.

Sayangnya, fenomena ini sepertinya justru membuat sebagian orang mengabaikan pendidikan. Ini terjadi karena memang sistem pendidikan di sekolah atau universitas sering kali terlalu mementingkan otak kiri. Akhirnya, banyak para sarjana yang terlalu banyak menganalisa. Namun, apa yang dianalisa justru tentang bagaiman sebuah usaha akan gagal, daripada menganalisa bagaimana sebuah usaha akan sukses.

Tapi, faktanya orang-orang pandai secara akademis juga banyak yang sukses secara finansial. Mereka cuma tak begitu sering di-ekspos karena kisah orang tanpa pendidikan maupun orang miskin yang bisa menjadi kaya akan lebih populer dan meng-inspirasi.

Salah satu contoh orang yang pendidikan akademisnya bagus adalah orang terkaya di dunia saat ini, Warren Buffet.

Warren sendiri datang dari orang tua yang juga pengusaha dan investor, dan ia sudah mulai berbisnis sejak kecil, seperti menjual tutup botol dan mengantar koran. Bahkan, usahanya tersebut cukup membuatnya kaya, karena ia bisa mendapat ribuan dollar. Inilah yang membuat Warren malas meneruskan kuliah setelah lulus SMA.

Eits....tapi tunggu dulu!

Ayah Warren kemudian memaksanya untuk kuliah, dan Warren pun bersedia meneruskan pendidikan di Wharton Business School di Universitas Pennsylvania Amerika Serikat. Pendidikan Warren pun tak berhenti di tengah jalan. Ia lalu meneruskan pendidikannya di Universitas Nebraska, dan mendapat gelar B.S (Bachelor of Science) pada tahun 1950.

Karena masih ingin memperdalam ilmu, Warren sempat mendaftar di universitas terkemuka di dunia, Harvard Business School. Namun, sayangnya ia ditolak karena terlalu muda (suatu alasan yang aneh). Tapi ia tak putus asa, dan kemudian mendaftar di Universitas Columbia. Di sana, ia adalah satu-satunya mahasiswa yang mendapat nilai A+ untuk kelas yang ditangani oleh Ben Graham (seorang investor terkemuka). Tahun 1951, Warren akhirnya mendapat gelar Master dalam bidang Ekonomi.

Karirnya kemudian berlanjut sampai sekarang, yang akhirnya menempatkan Warren sebagai orang terkaya seantero dunia. Namun, kekayaannya yang melimpah tak membuatnya terus hidup enak tanpa memikirkan orang lain. Tahun 2006 lalu, di usianya yang ke-76, Warren menyumbangkan 85% dari hartanya ke yayasan amal.

Warren adalah salah satu bukti nyata bahwa orang pintar bisa menjadi pengusaha sukses yang kaya secara finansial, bahkan bisa menjadi nomor satu di dunia. Jadi, sebaiknya janganlah mengabaikan pendidikan akademis. Apa yang penting adalah, jangan terlalu menomor satukan nilai atau Indeks Prestasi. Dalam salah satu seminar yang pernah saya hadiri, Andrie Wongso juga pernah mengatakan bahwa walau ia bisa sukses tanpa lulus SD, namun ia akan tetap menyekolahkan anak-anaknya setinggi mungkin.

Jadi, bagaimana menurut Anda?
Continue Reading...

Kisah Inspirasi - Terjerumus Menjadi Pengusaha


Di saat banyak orang merasa jenuh akan pekerjaannya, orang-orang berikut ini bisa dibilang beruntung karena mereka bisa sukses menjadi pengusaha dari hal yang mereka cintai. Kisah perjalanan mereka menjadi pengusaha pun bisa dibilang ‘kebetulan’ saja, karena dulunya mereka tak berniat membisniskan hobby mereka.

Dari sebuah artikel di InformationWeek, tersebutlah para pengusaha di bidang teknologi dan informasi yang sukses menjadi pengusaha dari hal-hal yang mereka senangi.

1. Heather Armstrong

Dahulu, Heather adalah seorang wanita yang bekerja sebagai desainer web di sebuah perusahaan developer software. Di sela-sela pekerjaannya, Heather menulis hal-hal negatif tentang atasannya dalam blognya, Dooce. Suatu hari, atasannya tahu tentang blog tersebut, dan akhrinya Heather dipecat. Tapi, justru karena kisahnya yang dipecat karena ‘ngeblog’ itulah yang membuat Heather banyak dibicarakan. Ia kemudian meneruskan blognya dengan dibantu oleh suaminya. Sekarang, Dooce bisa mendapat iklan dari sumber-sumber seperti Federated Media dan Pheedo.

2. Kevin Rose

Dengan latar belakang IT dan broadcasting, Kevin Rose yang pernah bekerja di IBM ini sukses mengelola Digg. Setelah ia berhenti dari TechTV tahun 2004, ia lalu meluncurkan situs Digg-nya. Ia mengatakan bahwa Digg adalah sebuah proyek yang ia sukai, sehingga ia bersedia mengambil segala risiko yang ada. Hasilnya, sekarang Digg selalu dibanjiri pengunjung.

3. Mena Trott

Awalnya, Mena Grabowski Trott punya hobby membuat Movable Type sebagai software untuk blognya. Tahun 2001, Mena dan suaminya, Ben, kehilangan pekerjaan di sebuat firma desain web. Sebulan kemudian, pasangan suami istri tersebut meluncurkan Movable Type untuk public, yang sebelumnya hanya sebagai proyek pribadi. Berkat kekompakan dan kecintaan pasangan tersebut akan pekerjaannya, mereka sekarang bisa memiliki ratusan karyawan. Dari tak punya pekerjaan sampai mempekerjakan orang .

Tiga orang di atas hanyalah sedikit dari banyak orang yang berhasil meraih keberhasilan dengan menikmati pekerjaanya. Awalnya memang mereka tidak berniat berbisnis dari hobby, tapi karena kecintaan mereka pada bidangnya masing-masing tanpa fokus pada keuntungan, akhrinya justru hobby mereka lah yang menjadi sumber pundi-pundi dollar.

Masih banyak lagi orang lain yang juga berhasil seperti mereka. Untuk bisa seperti mereka, kita perlu memperlihatkan dedikasi kita akan bidang kita masing-masing. Cintailah pekerjaan, dan nikmatilah perjalanan hidup yang berliku ini.
Continue Reading...

Kisah Inspirasi - Frank O'Dea: Mantan Gelandangan yang Nekad Berbisnis Kopi


Frank O'DeaNama Francis O’Dea, atau biasa dikenal dengan Frank O’Dea, mungkin kalah pamor dibanding dengan nama Howard Schultz. Keduanya memang sama-sama memiliki bisnis kedai kopi, namun nama Schultz sepertinya lebih melekat di kepala orang banyak sebagai pemilik jaringan kedai kopi Starbucks.

Tapi tentu saja itu bukan masalah. Meski kalah pamor dengan Howard Schultz, namun Frank O’Dea memiliki salah satu kisah sukses yang paling inspiratif di dunia ini.

Frank O’Dea adalah salah satu pendiri jaringan kedai kopi Second Cup asal Kanada. Tahukah Anda, bahwa sebelum ia meraih sukses seperti sekarang, Frank pernah menjadi pengemis di jalanan?

Ya..... Pada usia 20an, Frank pernah menjalani hidup sebagai seorang gelandangan yang hanya bisa mencari uang dari belas kasihan orang lain!

Mungkin pertanyaan yang muncul dalam benak Anda adalah, ” Bagaimana bisa ia menjadi gelandangan?”

Dalam sebuah wawancara, Frank menceritakan bahwa ketika masih remaja, ia memilik masalah ketergantungan dengan alkohol atau minuman keras. Ia sebenarnya dilahirkan di kalangan menengah, namun karena ketergantungannya itu, ia diusir dari rumah oleh ayahnya.

Ya, terang saja lah....ketika itu, Frank bahkan sampai nekad mencuri uang keluarganya sendiri demi memenuhi keinginannya akan barang haram itu.

Masa kelamnya ternyata tidak berhenti sampai di situ. Ketika masih belasan tahun, Frank bahkan pernah beberapa kali dilecehkan secara seksual, bahkan pelaku pelecehan seksual tersebut termasuk polisi dan pendeta!

Wah...betapa malang nasib Frank O’Dea kala itu....

Ketika diusir dari rumah, Frank masih berusia 20an, dan kala itu juga ia pernah menjalani profesi sebagai tenaga sales atau penjualan, sebelum akhirnya ia hidup menggelandang di jalanan kota Toronto, Kanada.

Namun, Frank menyadari bahwa jika ia terus terusan hidup seperti ini, maka ia bisa mati sebagai sampah masyarakat. Ia bisa menjadi seonggok mayat yang tak ada gunanya sama sekali bagi orang lain. Karena itu, ia memutuskan untuk bergabung dalam suatu kelompok pengembangan diri di Kanada, dan dari sanalah ia memulai proses perubahan dalam hidupnya.

Benar saja......Empat tahun kemudian, ia bersama mitranya, Tom Culligan, akhirnya bisa mendirikan outlet Second Cup mereka yang pertama di sebuah mall di kota Toronto. Apa yang mungkin mengejutkan Anda adalah, mereka sama sekali tidak melakukan riset pasar; padahal kala itu penjualan kopi terus menurun. Tapi, mereka akhirnya bisa mengembangkan bisnis kedai kopi mereka hingga ke 11 negara.

Dalam menjalani berbagai pengalaman pahit dalam hidupnya, Frank O’Dear telah ”diselamatkan oleh kopi”, seperti halnya judul sebuah artikel di sebuat situs Canada.com yang menyebutkan,”Coffee Saved His Life”. Ya, kopi telah menyelamatkan Frank dari kehidupan jalanan yang keras, bahkan bisa membuatnya menjadi orang sukses.

Sayangnya, Frank dan rekannya tak bisa lagi bekerja sama di Second Cup. Saat ini, Frank O’Dea adalah CEO dari Arxx Building Products Inc.

Tapi, apa yang sebenarnya bisa membuat Frank sukses adalah filosofinya. Ia memiliki slogan dalam hidup, yaitu:

”Hope, Vision, Action.” – Harapan, Visi, Tindakan

Pada saat Frank masih meminta belas kasihan di jalan, ia tahu bahwa ia masih memiliki harapan. Dengan harapan tersebut, ia kemudian membuat suatu visi tentang masa depannya, dan setelah itu ia bertindak untuk mewujudkan impiannya.
Continue Reading...

Kisah Inspirasi - Liz Murray, dari Jalanan sampai Kuliah di Harvard

Ini bukan sinetrLiz Murray, dari Jalanan sampai Kuliah di Harvardon atau film. Ini adalah sebuah cerita sukses yang telah menginspirasi banyak orang dalam menghadapi kehidupan.

Cerita ini datangnya dari Elizabeth (Liz) Murray.

Liz Murray dahulu hanyalah seorang wanita muda yang hidup di jalanan kota New York, kota megapolitan di Amerika Serikat yang terkenal dengan tingkat kriminalitasnya yang tinggi.

Namun siapa sangka, ternyata ia bisa lulus dari Harvard University, tampil di Oprah Winfrey Show, dan kisahnya menjadi sebuah film televisi yang memenangkan penghargaan.

Kisah Liz Murray ini hampir sama dengan Frank O’dea, mantan tuna wisma yang kini menjadi pengusaha bisnis kedai kopi di Kanada.

Bedanya, Liz menjadi tuna wisma karena memiliki orang tua yang kecanduan obat-obatan, sementara Frank karena dirinya sendiri yang kecanduan minuman keras. Keduanya menggunakan kisah luar biasa mereka untuk menginspirasi orang lain.

Liz Murray sendiri saat ini memang menjadi seorang pembicara motivasi, tapi siapa sangka kalau dahulunya ia sering mencuri buku-buku pengembangan diri seperti milik Tony Robbins dan Stephen Covey?

Ya, itu memang benar-benar terjadi, sampai akhirnya Liz bisa bertemu langsung dengan Stephen Covey.

Wanita yang lahir tahun 1980 ini kehilangan ibunya di tahun 1996 karena HIV/AIDS. Setelah itu, ia pun tak memiliki tempat tinggal lagi, dan ayahnya pindah ke tempat penampungan tuna wisma.

Kejadian tersebut justru membuat Liz semakin ingin mengubah hidupnya. Meski tak memiliki tempat tinggal dan hidup di jalanan kota New York, Liz tetap berniat untuk bersekolah di SMA dan sekaligus menghidupi adiknya.

Liz bahkan bisa menyelesaikan SMA hanya dalam waktu dua tahun, dan mendapat beasiswa dariThe New York Times untuk melanjutkan kuliah di Harvard University, sebuah universitas terkemuka tempat orang-orang sukses pernah belajar, seperti Bill Gates (Microsoft) dan Conan O’brien (pembawa acara dan komedian).

Namun, pada tahun 2003, Liz memutuskan untuk keluar dari Harvard dan pindah ke Columbia University agar bisa lebih dekat dengan ayahnya. Ketika ayahnya meninggal karena HIV/AIDS, Liz pun kembali ke Harvard di tahun 2008, dan kerja kerasnya berbuah manis ketika di tahun 2009 ia berhasil meraih gelar dalam bidang psikologi.

Apakah yang membuatnya bisa mengalahkan semua kesulitan yang ia temui?

Komitmen.

Liz mengatakan dalam sebuah wawancara di Success Magazine bahwa:

"Sebelum saya mengalami perubahan ini, saya selalu memiliki ilusi yang saya sebut jika-begini-maka-begitu. Jika saya menemukan tempat yang tenang, maka saya akan belajar. Jika saya punya uang, maka saya akan sekolah. Kita hanya melakukan itu jika tak memiliki komitmen nyata untuk tujuan kita. Kita mengatakan, "Saya berkomitmen...kecuali.' Ada perbedaan besar antara hal tersebut dan komitmen mutlak. Komitmen mutlak berarti Anda akan bekerja di sebuah lorong."

Ya. Ketika masih sekolah, Liz memang belajar di lorong tempat tinggal temannya di Bronx. Ia menyebar buku-bukunya di sana, dan mulai belajar dalam keheningan.

Kisahnya yang begitu inspiratif akhirnya menarik media untuk mempublikasikannya, termasuk ratu talk show dunia, Oprah Winfrey. Film televisi berdasar kisah nyatanya pun telah dibuat di tahun 2003 dengan judul “Homeless to Harvard”, yang berhasil mendapat nominasi Emmy Awards, serta sebuah penghargaan dari American Cinema Editors.

“..ketika perubahan terjadi pada diri saya, saya bisa membuat perubahan pada hidup." – Liz Murray

Continue Reading...

Kisah Inspirasi - Azim Premji, Profil Pengusaha Muslim Sukses dari India

Azim Premji, Pengusaha Muslim Sukses dari India
Dalam jajaran orang-orang terkaya di dunia versi majalah Forbes tahun 2008 ini, empat dari posisi 10 teratas ditempati oleh orang-orang India. Sedang secara keseluruhan, India berhasil menempatkan 53 orang-orang kayanya dalam jajaran prestisius tersebut. Salah satu dari para pengusaha kaya itu adalah Azim Premji, yang tahun ini ”hanya” menempati posisi 60, setelah tahun sebelumnya menempati posisi 21.

Azim Premji adalah seorang pengusaha sukses yang pernah beberapa kali menduduki peringkat pertama orang terkaya di India. Ia juga pernah disebut-sebut oleh Wall Street Journal sebagai pengusaha muslim terkaya di dunia tahun 2007, mengalahkan para ”juragan minyak” dari Arab Saudi. Walaupun ada embel-embel ”muslim” dalam jajaran tersebut, Premji sendiri mengaku bahwa ia datang dari keluarga muslim yang sekuler.

Premji sendiri lebih senang melihat dirinya sebagai orang India daripada orang dari keyakinan tertentu. Ia juga tak pernah menggembar-gemborkan identitasnya sebagai seorang muslim, dan perusahaannya pun hanya mempekerjakan sedikit muslim. Bahkan ketika almarhum ayahnya diminta oleh M. Ali Jinnah untuk pindah ke Pakistan, sang ayah pun menolak karena ia tidak melihat satu alasan pun untuk pindah dari suatu negara ke negara lain hanya karena masalah agama.

Kesuksesan sang pengusaha muslim sekuler tersebut tak lain adalah karena langkah besarnya dalam mengubah perusahaan keluarga yang memproduksi minyak sayur menjadi salah satu perusahaan IT terbesar di India, Wipro Ltd (dahulu bernama West India Vegetable Products). Sarjana teknik mesin lulusan Stanford University ini percaya bahwa orang biasa mampu melakukan hal-hal luar biasa. Nampaknya itu adalah salah satu faktor yang menyebabkan dirinya bisa memimpin perusahaannya untuk mendapat berbagai penghargaan baik dari dalam maupun luar negeri.

Seperti halnya Bill Gates, Warren Buffet, dan orang-orang terkaya lain, kesuksesan Premji dalam berbisnis membuatnya tergerak untuk mendirikan suatu yayasan amal yang bergerak dalam bidang pendidikan. Tahun 2001 lalu, ia mendirikan Azim Premji Foundation yang bertujuan untuk menyediakan pendidikan berkualitas bagi anak-anak di India. Dengan dasar bahwa masa depan anak-anak adalah masa depan negaranya, yayasannya tersebut kini telah membantu ribuan sekolah yang ada di negaranya tercinta itu.

Terlepas dari kesekuleran Azim Premji, ia bisa disebut sebagai salah satu ikon bagi para pengusaha muslim di dunia untuk bisa bersaing dalam bisnis. Nilai-nilai entrepreneurship yang telah ditanamkan oleh Nabi Muhammad S.A.W seharusnya bisa diterapkan oleh pengusaha-pengusaha muslim lain seperti Premji, agar nantinya bisa menjadi berkah dan rahmat bagi semua makhluk di bumi ini.



Terima Kasih Sudah Membaca . . .
Continue Reading...

KAMPUS

IT